Jumat, 27 Juli 2012

WAJAH PONDOK PESANTREN SAAT INI

1.    Pengertian Pondok Pesantren
Pondok berasal dari Bahasa Arab; funduuq, yang artinya: hotel atau tempat penginapan.[1] Akar kata pesantren, menurut Dhofier, sebagaimana dikutip Anwar dalam bukunya berasal dari kata santri, yaitu istilah yang ada pada awalnya digunakan bagi orang–orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa dan Madura. Kata santri  mendapat awalan pe dan akhiran an, yang berarti tempat para santri menuntut ilmu. Dalam pemakaian bahasa modern, santri memiliki arti sempit, santri adalah seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian yang  lebih luas dan umum, santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, rajin shalat, pergi ke masjid pada hari Jum’at dan sebagainya.[2]
Tak lepas dari rangkaian kata pesantren, Imam Bawani lebih mendefinisikannya secara fungsional dalam bukunya:
"Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.”[3]
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan luar sekolah yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari atau mendalami ajaran agama Islam. Pondok Pesantren mempunyai ciri khusus yaitu diantaranya; adanya pengasuh, adanya masjid, adanya santri/ siswa dan adanya asrama.[4]
Bisa dikatakan, pondok pesantren sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam nonformal. Penyajian kitab-kitab kepada santri untuk dipelajari dan pahami. Sistem belajar mengajar masih mempertahankan cara tradisional.

2.    Sejarah Ringkas berdirinya Pondok Pesantren
Sejarah berdirinya pondok pesantren terjadi dimulai sekitar pada abad 15-16 M, berbarengan dengan penyebaran islam di Tanah Air, khususnya di Jawa, yang tak lepas dari peran Walisongo. Di dalam  menyebarkan ajaran Islam, mereka  mendirikan pesantren, sebagai tempat dakwah sekaligus sebagai proses belajar mengajar. [5] Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society-based-education).[6] Pesantren memeliki peran penting sebagai agen pembaharuan sosial.[7]
Pada waktu pondok pesantren mulai berdiri, kegiatan pendidikan hanya terbatas pada pengajaran Al-quran yaitu merupakan pendidikan yang paling sederhana. Namun demikian, seiring dengan berjalanya waktu, orientasi pesantren seakan mulai berubah. Di saat fakta berkata bahwa berkutat semata di wilayah keagamaan tak lagi memadai dalam merespon dunia yang semakin berubah, di saat itulah pesantren mulai melebarkan bidang garap pengajaranya. Pesantren pun mendirikan sekolah dan madrasah yang berstandarkan kurikulum pendidikan nasioal, dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum.[8]
Pada zaman modern, istilah pesantren terbagi menjadi dua, yaitu pesantren salaf dan pesantren modern. Pesantren salaf lebih banyak mengajarkan ilmu agama islam dengan mendasarkan dari sumber kitab kuning.[9] Husni Rahim seperti apa telah dikutip oleh Ali Anwar, khalaf atau modern adalah pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan klasikal dengan kurikulum tertata, mengintegrasikan pengetahuan umum.[10]
Dalam sejarah dan perkembangannya, pondok pesantren memperluas wawasan materi ajar bagi pesantren modern. Sebaliknya, pesantren salaf tatap mempertahankan materi ajar dari kitab-kitab klasik tanpa mencantumkan materi ajar  ilmu pengetahuan umum. Walaupun keduanya sudah mengadopsi sistem pendidikan sekolah atau madrasah.

3.    Komponen-komponen Pondok Pesantren
Komponen-komponen yang terdapat pada sebuah pesantren pada umumnya terdiri dari: pondok (asrama), masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik serta kiai. Pada pesantren-pesantren tertentu terdapat pula di dalamnya madrasah atau sekolah dengan segala kelengkapannya.[11] Pondok pesantren dipandang dari komponen-komponen, yang menjadi ciri khas pembeda dengan lembaga pendidikan. Penjelasan komponen-komponen ini diuraikan pada bagian berikut.

a.    Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah suatu lembaga pendidikan yang menyediakan asrama atau pondok (pemondokan) sebagai tempat bersama sekaligus tempat belajar para santri dibawah bimbingan kiai. Asrama untuk santri ini berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kiai beserta keluarga berada dalam tempat tinggal serta adanya masjid sebagai tempat beribadah dan tempat untuk mengaji bagi para santri.[12]
Pondok, menurut Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati merupakan tempat tinggal kiai bersama para santri dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Dalam perkembang berikutnya, pondok lebih menonjolkan fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.[13]
Paling tidak terdapat empat alasan utama pesantren membangun pondok (asrama) untuk para santrinya.
Pertama, ketertarikan santri-santri kepada seorang kiai dikarnakan kemasyhuran atau kedalaman serta ilmunya yang mengharuskannya untuk meninggalkan kampung halamannya untuk menetap di kediaman kiai itu.
Kedua, kebanyakan pesantren adalah tumbuh dan berkembang di daerah yang jauh dari keramaian pemukiman penduduk sehingga tidak terdapat perumahan yang cukup memadai untuk menampung para santri dengan jumlah banyak.
Ketiga, terdapat sikap timbal balik antara kiai dan santri yang berupa terrciptanya  hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah dan anak. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
Keempat, untuk memudahkan dalam pengawasan kepada santri secara intensif dan istiqomah.  Hal ini dapat dimungkinkan jika tempat tinggal antara guru dan murid berada dalam lingkungan yang sama. [14]  
Asrama membawa banyak manfaat akademik, antara lain proses pembelajaran yang berlangsung hampir 24 jam interaksi antara murid dan guru maupun sesama murid yang dapat merangsang semangat belajar, terbentuknya pribadi yang makin mandiri, konsentrasi belajar bisa lebih terfokus karena tidak ada beban lain selain belajar.[15] Semua program kegiatan murid tidak terlepas dari pengawasan kiai atau ustadz. Sehingga semua kegiatan yang dilakukan para santri seluruhnya diarahkan kepada pengejawantahan ajaran Islam.[16]

b.    Masjid atau Langgar
Pada mulanya, pendidikan langgar atau masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.[17] Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan ini (pesantren,pen)   merupakan manifestasi universal dari sistem pendidikan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan orang-orang sebelumnya.[18]
Masjid atau langgar merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan masyarakat Muslim. Pada dasarnya, masjid atau langgar mempunyai fungsi yang taklepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, masjid berfungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. [19]

c.    Santri
. Seperti hal diatas tentang pengertian pesantren, maka sudah hal maklum setiap lembaga pesantren dihuni oleh peserta didik, yang disebut santri.  Muhammad Rifa’i menyinggung dalam bukunnya: bahwa ada pendapat lainnya yang menghubungkan kata santri berasal dari kata cantrik  (bahasa Sanskerta atau mungkin jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Selanjutnya menjelaskan bahwa santri dipandang dari system pengajaran pesantren ini, yaitu: murid-murid yang belajar diasramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan pondok.” [20] 
Melihat definisi santri dalam pengertian pesantren hanya mengarah pada satu tipologi santri, yakni: santri mukim/ menetap dipondok. Sedangkan santri kalong[21] sebagai seorang murid yang mengikuti pengajian kitab-kitab kepada kiai di satu tempat atau lebih.

d.    Kiai
Komponen yang paling esensial bagi suatu pesantren adalah adanya seorang kiai. Gelar atau sebutan Kiai, biasanya diperoleh seseorang berkat kedalaman ilmu keagamaanya, kesungguhan perjuangannya  untuk kepentingan Islam, keikhlasan dan keteladanan ditengah umat, kekhusu’annya dalam beribadah dan kewibawaannya sebagai pemimpin. Sebagaimana menurut Mukti Ali, yang dikutip Banawi mengatakan; semata karena faktor pendidikan tidak menjadi jaminan bagi seseorang untuk memperoleh predikat kiai, melainkan faktor bakat dan seleksi alamiah yang lebih menentukannya.[22]
 Menurut Moh. Akhyadi bahwa gelar kiai adalah pengakuan masyarakat karena kesalehan, kedalaman ilmu, dan keihlasannya dalam mengabdikan diri demi kepentingan agama dan masyarakat, gelar kiai tidak di peroleh melalui proses promosi atau ijazah yang disandang. [23] Kiai memiliki fungsi-fungsi yang sangat dominan dalam lingkungan pesantren maupun masyarakat, yakni:
1) fungsi sebagai guru, kiai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki  kepribadian yang utama,
2) fungsi sebagai mubaligh, kiai berupaya menyampaikan ajaran Islam kepada siapa pun berdasarkan prinsip memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran  (amar ma’ruf  nahi mungkar),   
3) fungsi sebagai manajer,  kiai memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya,[24] dan
4) fungsi sebagai orang tua asuh, kiai dan santri menjalin hubungan akrab dan bersifat khusus humanis menciptakan suasana pembelajaran yang  intens dan familier.[25]  Pendidikan yang terjadi tidak hanya sebatas transformasi ilmu, melainkan juga pada prilaku kehidupan.
Untuk mengatur kehidupan dan kegiatan pendidikan di pondok  pesantren, Kiai  menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, orang tersebut dikenal dengan sebutan lurah pondok.[26]   Hal ini terjadi dalam pesantren yang cukup besar. Sedangkan peran-peran kiai biasanya dikejawantahkan oleh para ustadz atau santri-santri senior dan  dimanifestasikan dalam tata tertib pergaulan pesantren.[27] Disertai  terbentuk struktur organisasi dan  manajemen kelembagaan pondok pesantren, seperti perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan.

e.    Kitab-kitab Islam Klasik
Bahwa pada  pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agam Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pelajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[28]
 Tujuan utama dari pengajaran atau pengajian kitab-kitab klasik adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Sedangkan bagi santri yang hanya dalam waktu singkat tinggal di pesantren, mereka tidak bercita-cita menjadi ulama, akan tetapi bertujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman perasaan agama.[29]
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan sebagai materi pembelajaran di pesantren secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam sebelas kelompok bidang studi, yaitu: 1) Tajwid, 2) Tafsir, 3) Ilmu Tafsir, 4) Hadist, 5) Aqidah, 6) Akhlaq/ Tasawuf, 7) Fiqh, 8) Ushul Fiqh, 9) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), 10) Manthiq dan Balaghah, dan 11) Tarikh Islam.[30]
Dalam metode pembelajaran, pesantren memakai tata cara tradisional maupun modern. Seperti dibawah ini:
1)      Metode Sorogan
Pembelajaran yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai.
2)      Metode Bandongan atau wetonan
Dilakukan oleh seorang kiai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibaca dari sebuah kitab sekaligus meng-dhabit-kan harakat serta mencatat arti-arti per-kata.
3)      Metode Musyawarah
Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan ataupun pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan didalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argument logika yang berdasarkan pada kitab-kitab tertentu. Dan dibawah  bimbingan ustadz
4)      Metode Pengajian Pasaran
Kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang ustadz dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu serta mengejar khatam (target selesai).
5)      Metode Hafalan (Muhafadzah)
Kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan seorang ustadz/ kiai.
6)      Metode Demonstrasi/ Praktek Ibadah
Memperagakan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan ustadz.
7)      Metode Rihlah Ilmiah
Pembelajaran yang diselenggarakan melalui kegiatan kunjungan (perjalanan) menuju ke suatu tempat tertentu dengan tujuan untuk mencari ilmu.
8)      Metode Muhawarah/ Muhadatsah
Pelatihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh Pondok Pesantren kepada santri selama mereka tinggal di Pondok Pesantren.
9)      Metode Mudzakarah/ Bahsul Masa’il,
Pertemuan ilmiyah yang membahas masalah agama (diniyah) seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya.
10)  Metode Riyadhah
Pembelajaran yang menekankan pada olah batin untuk mencapai kesucian hati para santri dengan berbagai macam cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kiai. Pembelajaran dengan metode ini sendiri sesungghnya tidak ditunjukan untuk penguasaan akan pengetahuan atau ilmu tertentu, tetapi sebagai sarana untuk pembentukan dan pembiasaan sikap serta mental santri agar dekat kepada Tuhan.[31]
Metode-metode pembelajaran diatas secara umum memberikan suatu sumbangan dalam memahami teks kitab-kitab klasik, agar pemahaman-pemahaman ajaran-ajaran Islam tertanam sebagai pegangan hidup. Sedangkan sebagian metode untuk menambah keahlian dalam berkomunikasi dan olah batin, tetapi sebenarnya sangat membantu untuk memperdalam pemahaman mata ajar pesantren dan pembentukan pribadi Islami.

f.     Madrasah atau Sekolah
Pada masa awal, pesantren adalah lembaga pendidikan masyarakat yang dapat pada dasarnya tidak mengembangkan system madrasah dalam penyelenggaraan pendidikannya. Jadi, lebih bersifat informal.  Masyarakat menikmati pembelajaran di lembaga pesantren secara lues, tanpa batasan-batasan artificial dan formal seperti usia dan latar belakang social lainnya.[32]
Pada beberapa pesantren yang telah melakukan pembaharuan disamping adanya masjid sebagai tempat belajar, juga disediakan madrasah atau sekolah sebagai tempat untuk mendalami ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang dilakukan secara klasik. Madrasah atau sekolah ini biasanya terletak di dalam lingkungan pesantren secara terpadu.[33] Sebagian Pondok Pesantren saat ini memiliki unit pendidikan tersendiri yang berupa madrasah atau sekolah dan madrasah diniyyah. Sehingga Pondok Pesantren lebih mudah mengkolerasikan tujuan dan komponen lain dalam menentukan setiap lulusannya.
Disamping itu, Pondok Pesantren memiliki dua manajemen dan dua struktur organisasi dalam satu tempat ataupun terkadang satu naungan kiai, yaitu; 1) manajemen dan  struktur organisasi Pondok, dan 2) manajemen dan struktur organisasi Madrasah. [34]  Hal ini, dilakukan untuk mempermudah dan memperingan kinerja pondok pesantren dalam proses pendidikan, pembelajaran dan pengajaran santri.

4.    Pendidikan Pondok Pesantren 
Keberadaan pondok pesantren bukan hanya pada berbentuk lembaga dengan seperangkat pendukungnya saja (masjid, ruang mengaji, asrama santri, ustadz serta kiai), akan tetapi pondok pesantren keberadaannya bisa diartikan sebagai institusi sosial yang merupakan entitas budaya yang mempunyai implikasi terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.[35] Pesantren memilliki asas pendidikan keagamaan dan asas pendidikan kekeluargaan yang menjadikan dasar proses pembelajaran, pengajaran dan belajar.
Pesantren dengan pendidikan asas keagamaan. Tujuan berdirinya lembaga pesantren adalah syi’ar agama Islam. Pesantren sebagai pusat penyebaran Islam pada masa Walisongo di Jawa. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan luar sekolah yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari atau mendalami ajaran agama Islam.[36]
Jika ditinjau dari system pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren, terutama sebelum masa orde baru, maka pendekatan ssering dipergunakannya adalah pendekatan holistic, hal itu terbukti paling tidak dengan prinsip-prinsip yang tercermin dari system pendidikannya.  System pendidikan pesantren, mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric[37], yang memandang bahwa aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan dan merupakan integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan mengajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan.[38]
Hal kedua dalam pendidikan pesantren adalah pendidikan asas kekeluargaan. Dalam konteks ini, santri hidup bersama kiai atau ustadz setiap hari dalam kehidupan bapak-anak dalam pesantren. Ada hubungan akrab ini menciptakan suasana pembelajaran yang sangat intens dan familier.[39] Pola pola transmisi pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai dan kebiasaan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya pada umumnya terjadi melalui asuhan, ajakan, suruhan, larangan, dan bimbingan.[40]
Priyo menjelaskan konsep asas kekeluargaan, yang dikembangkan oleh Ki Hajardewantara, adalah sistem pendidikan among. Guru dalam pendidikan ini, disebut pamong. Pelajaran itu diperoleh siswa 24 jam sehari. Jadi, prilaku setiap hari, bagaimana dia bangun pagi, mandi, salat lima waktu, semua diawasi oleh pamong.[41] Bimbingan jiwa diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan teladan, pembiasaan, dan disiplin dititikberatkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya memiliki timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui proses terpadu.[42]
Oleh karena itu, pendidikan pada hakikatnya bersifat sementara, meliputi seluruh aspek kehidupan mencakup seluruh unsur kebudayaan seperti moral, etika, estetika, logika dan keterampilan yang serasi dan terpadu dengan pembangunan nasional dan budaya dilingkungan masyarakatnya. Pesantren lebih memberikan kontribusi dalam pembentukan kepribadian jasmani dan rohani yang sesuai dengan ajaran agama Islam dengan proses pendidikan yang menanamkan nilai-nilai ajaran  Islam secara jasmani dan ruhani dalam kehidupan sehari-hari.


[1] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 32
[2] Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri (Kediri: IAIT Press, 2008), h. 22-23.
[3] Imam Bawani, Tradisionalisme DalamPendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993),h. 89.
[4] Bagian Proyek Peningkatan Wajar Diknas Pada Pondok Pesantren, Pedoman Supervisi
Pondok Pesantren Salafiyah (Jakarta: Departemen Agama, 2002), h. 11.
[5] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional,h. 29-30.
[6] “Pola Pembelajaran di Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren: Proyek Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah pada Pondok Pesantren tahun 2003, h. 1
[7] Uday Mashudi Abdurrahman, Metamorfosis Pesantren (Jakarta: Mozaik Pesantren, 2005), h. 17
[8] Rakhmat, Pesantren Salaf di Tengah Pragmatisme Pendidikan, (Jurnal Tribakti, Volume 18 no.2 Juli 2007), h. 158
[9] Ibid, h. 34.
[10] Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri , h. 26
[11] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren: Proyek Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah pada Pondok Pesantren tahun 2003, h. 8.
[12] Ibid, h. 8
[13] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 105
[14] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan...,h.10
[15] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga,Th),h. 94-95
[16] Ibid, h. 120
[17] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 101.
[18] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan..., h.10
[19] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 101.
[20] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional,…h. 32-38.
[21] Santri kalong adalah para santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren sehingga mereka tidak perlu untuk menetap dipondok, bolak balik dari rumahnya. “Pola Pembelajaran di Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan, h. 14
[22] Bawani, Tradisionalisme, h. 90.
[23] Moh. Akhyadi, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001 ), h.141.
[24] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga,Th),h. 63.
[25] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan , h. 119
[26] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan, h. 32
[27] Ibid, h.120
[28] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam.., h. 106.
[29] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan, h. 12
[30] Ibid, h. 12-13
[31] Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok…., h.74-114
[32]  “Pola Pembelajaran di Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan...,h. 2
[33] Ibid, h. 11
[34] “Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan..., h.11
[35] Hamdan Farchan dan Syarifudin, Titik Tengkar Pesantren (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h.  1.
[36] Bagian Proyek,  Pedoman, h. 1.
[37] Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Tuhan. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan Fitrah-nya dan perkembangan selanjutnya tergantung kepada lingkungan dan pendidikannya yang diperolehnya. Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah, Bagian Proyek Peningkatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Pondok Pesantren Salafiyah Tahun 2002,h. 4
[38] Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah, Bagian Proyek Peningkatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Pondok Pesantren Salafiyah Tahun 2002, h. 4-5
[39] Pola Pembelajarandi Pesantren”, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok….,h 119-121
[40] H.D. Sudjana S.,Pendidikan Nonformal,(Bandung: Falah Production, 2004), h. 62
[41] “Nasib Taman Siswa Kini” Majalah Biografi, April 2011, h. 177
[42] Jalaluddin, Psikologi Agama,(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007),h. 25.http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3769489733631723948#editori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar