Selasa, 17 September 2013

PAWANG HUJAN



PAWANG HUJAN
oleh: Hanifudien Zuhri

Hujan turun dengan lebatnya. Gemericik suaranya seperti menghabisi seluruh kesunyian malam. Tak ada petir, tak ada angin, satu-satunya suara yang berdaulat pada malam itu hanyalah rintik-rintik hujan. Suara alam yang tulus dan suci dari muatan kepentingan.
Malam itu suasana begitu tenang, nyaman, damai, tak ada gelak tawa, tak ada bising suara kendaraan. Sesekali angin semilir lembut melintasi bulu mata. Menjadikan rasa kantuk semakin garang menyergap kesadaranku. Sejenak kemudian kasur empuk didalam kamar itu benar-benar lahap menelan tubuhku yang kerempeng ini dan berlanjut hingga azan subuh berkumandang. Benar-benar lega rasanya. Sepertinya baru sekali ini aku menikmati tidur malam yang nyaman.
Jam dinding berdentang tujuh kali. Namun matahari tampaknya tak kuasa mengusir kabut tebal pagi ini. Boleh jadi, cuaca pagi yang lembab membuat anak-anak bermalas-malasan pergi ke sekolah. Ah, peduli apa. Itu urusan mereka yang punya anak. Dalam urusan seperti itu, tentunya aku harus bersyukur menjadi orang yang hidup sendirian. Tak perlu pusing-pusing memikirkan sekolah si anak. “Tidur lagi, ah!.”
Belum sampai terlelap, terdengar suara orang mengetuk pintu. Suara ketukannya begitu kasar. Pasti tanpa dibarengi perasaan. Ada firasat tak enak dihatiku. Kuintip dari lubang dijendela. Terlihat seorang berkopyah putih. Oh, Pak Birin rupanya!.
Entah mengapa, aku merasa tidak nyaman setiap ia datang. Kedatangan Pak Birin tidak lain, pasti ingin mempersoalkan hujan tadi malam. Dan inilah suatu permasalahan yang akrab melanda hidupku. Kalau tidak musibah pastilah anugerah. Bila para tetangga membicarakan tentang pribadiku pastilah masalah hujan yang menjadi pokok bahasan mereka.
“ Ini semua gara-gara kamu kang” ujar pak Birin dengan nada kecewa,” Seandainya sampean mau mengerti pasti tidak begini jadinya. Ah, payah.”
Pak Birin terus meluapkan kekecewaannya. Benar dugaanku, akibat turunnya hujan tadi malam acara pengajian akbar di halaman masjid gagal berantakan. Aku lagi yang menjadi sasaran orang.
Beberapa saat kemudian setelah Pak Birin beranjak meninggalkan rumahku, lalu datang lagi Bu Siti seorang ketua jamaah muslimat. Dia membawa kekecewaan yang sama seperti Pak Birin.
“ Kamu ini bagaimana sih, Kang Tole. Padahal semua orang sudah mewanti-wanti agar jangan sampai turun hujan, apa amplopan yang kami berikan kurang tebal, sehingga doa dan japa mantramu tak mempan lagi untuk menolak hujan.” kata Bu Siti.
Seketika pintu rumah kututup dan kunci setelah Bu Siti beranjak tanpa pamit. Jika sudah terjadi semacam ini aku mulai sadar, dan seringkali aku mengeluh pada diri sendiri. Oh Tuhan mengapa kau ciptakan aku sebagai makhluk pengendali hujan, dan wahai hujan, mengapa kau begitu tunduk kepadaku padahal aku tak pernah sunguh-sungguh saat berdoa untuk menolak maupun berharap kedatanganmu.
***
Semua orang melabeliku dengan julukan Kang Tole “si pawang hujan”. Saat musim hajatan pengantin tiba, kebetulan jika saat itu adalah musim penghujan, maka aku kebanjiran tamu yang meminta agar jangan sampai turun hujan. Tapi jika musim kemarau dimana semua daerah dilanda kekeringan maka tugasku adalah berdoa minta turun hujan. Dan rata-rata semua tugasku berjalan lancar.
Meski begitu, pernah juga orang kampung berdatangan menghujatku, masalahya adalah banjir yang suatu ketika  pernah melanda kampungku. Mereka menuduh akulah biang semua ini. Namun saat itu mereka sadar, saat aku berkilah,” Banjir bukan urusanku, tugasku adalah hujan,dan bukan banjir”.
Aku pun pernah melarikan diri dari kampung untuk bersembunyi dalam sementara waktu. Hal itu aku lakukan karena muak melihat sikap semua orang kepadaku, mereka menghoramatiku secara berlebihan, seolah aku adalah mandat dari tuhan untuk mengontrol hujan sebagai ganti malaikat juru hujan.
Masalah demi masalah silih berganti terkait pekerjaanku ini. Namun sepanjang sejarah masalah yang satu ini cukup rumit.
Pagi itu, dua orang datang kepadaku secara bersamaan. Mereka adalah Pak Birin dan satunya lagi adalah Sudin seorang tukang becak yang terkenal gemar main judi. Saat hendak masuk pintu rumahku mereka berdua terlihat saling pandang dengan sinis. wajar yang satu penjudi yang satunya lagi ustadz. Dua manusia yang berbeda haluan.
Seperti sebuah perlombaan, dengan tangkas dan lancar Sudin mengutarakan masalahnya padaku. Pak Birin pun kalah duluan. Tapi ia tampak tenang-tenang saja seolah mampu membaca kebiasaanku: bila kedatangan penjudi dan kiai pastilah kiai yang lebih diutamakan.
Permintaan sudin cukup aneh. Tapi yang namanya Sudin tetaplah Sudin si penjudi. Dia meminta agar malam ini turun hujan sebab baru saja ia menggelar taruhan dengan temannya.
“Baru saja kami tebak-tebakan dengan kawanku, Kang. Ada dua pilihan: malam nanti hujan atau cerah. Tadinya saya sempat bingung. Tapi saat teringat sampean maka saya dengan mantap berani bertaruh dua ratus ribu memilih hujan. Maka dari itu tolonglah kang turunkan hujan sore ini”  kata Sudin.
Aku tersenyum mendengar ceritanya dan kulihat Pak Birin gusar mendengar permintaan si Sudin itu, suatu pekerjaan yang tabu untuk diungkapkan didepan orang lain.
Setelah Sudin bermpamitan, giliran Pak Birin mengutarakan maksudnya. inilah akar persoalan itu terjadi; kalau tadi si sudin meminta agar turun hujan tapi Pak Birin meminta sebaliknya. Karena nanti malam akan di gelar pengajian akbar di masjid, maka ia meminta agar jangan sampai turun hujan.
“ Demi sukses dan lancarnya acara pengajian malam nanti, saya harap sampean mengerti kang; jangan sampai acara ini berantakan gara-gara turun hujan. Persiapan acara ini memakan anggaran jutaan rupiah yang diambil dari dana khas masjid dan rencananya nanti malam akan dihadiri seorang calon bupati dan seluruh tim suksesnya. Saya berharap sungguh-sungguh kepadamu kang penuhilah permintaan kami. Sebab ini menyangkut dunia-akherat” Kata Pak Birin.
“ Hemm..” Aku tersenyum, dan hanya tersenyum.
“ Jangan kawatir, sampean nanti juga akan mendapat bagian” ujarnya. Entah apa maksudnya aku sama sekali tak mengerti,” sekaligus kalau nanti ada kesempatan biarlah Pak calon bupati  akan kukenalkan padamu. Jarang-jarang lo, orang kecil seperti kita bisa kenal dengan pejabat” katanya.
Sesaat kemudian setelah Pak Birin mohon diri, kucoba merenungkan apa yang baru saja dikatakannya. “Jangan kawatir sampean nanti juga akan mendapat bagian”. Ya kalimat itu masih menjadi misteri tersendiri yang selalu terngiang-ngiang di benakku. Wajar, otakku terlalu sederhana untuk memahami orang pandai seperti dia.
Kepalaku pusing menentukan dua pilihan ini: antara hujan dan tidak. Aku harus mengabulkan yang mana. Memohon hujan berarti turut mengacaukan acara pengajian. Sedangkan menolak hujan sama artinya dengan menghancurkan istri dan anak si Sudin. Sebab aku juga merasa kasihan pada mereka. Setiap punya uang selalu dijarah bapaknya untuk berjudi. Paling tidak, bila Sudin menang, sekian persen uang itu kembali pada mereka.
Disaat hati nurani yang terdalam tak mampu menjawab, perlahan-lahan aku terlelap di atas kursi tamu dan tertidur pulas.
Didalam tidurku aku bermimpi kedatangan seorang kakek-kakek tua renta. Dari gerak-gerik dan cara bicaranya, aku menjadi ingat pada kakekku yang meninggal puluhan tahun yang lalu. Dan dialah orang yang mewariskan ilmu pengendali hujan padaku. dalam mimpi itu  kulihat wajah dan semua guratan mukanya tampak murka. Seperti hendak menumpahkan segala kutukannya padaku. Kemudian ia membisikkan sesuatu padaku. Ada suatu nasehat dengan bernada ancaman yang menakutkan. Darah serasa mendidih mendengar bisikannya. Tapi anehnya, bisikan itu tak begitu terdengar, kecuali lirih samar-samar.
Sehari sebelumnya, aku juga bermimpi yang mengerikan. Aku melihat diserambi masjid kampungku penuh bara api yang menyala-nyala. Sementara itu diatas mimbar ada seorang yang berceramah dengan penuh semangat. Tapi mimpi yang ini tak seberapa dibanding mimpi bertemu sang kakek yang menakutkan.
Mendengar kata-kata sang kakek itu tubuhku menjadi gemetar. Nafasku berdengus kencang, dan seketika aku terbangun. Namun setelah bangun, sang kakek itu sudah lenyap.
Nafasku terus memburu. Baru kemudian setelah kuambil air wudlu perlahan hatiku merasa tenang. Lalu kulihat jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Diluar langit tampak gelap. tapi kini aku merasa mantap dengan pendirianku; seperti yang diisyaratkan dalam mimpi.
Tiga puluh menit kemudian hujan turun dengan lebatnya. Usai sudah tugas yang membebaniku. Hujan ini terus berlangsung hingga larut malam. Dan aku sangat berharap hujan ini adalah pilihan terbaik.
***
Semanjak turunya hujan itu, aku merasakan sikap tak nyaman dari Pak Birin dan seluruh anggota jamaah masjid. mereka menudingku dengan tuduhan macam-macam.
“ Sejak kapan kau berkompromi dengan penjudi kang?” Ujar Pak Birin.
“ Oh, maaf, maksud bapak?.”
“ Gara-gara hujan tadi malam, acara pengajian gagal dan calon kepala daerah tidak jadi datang. Lalu apakah kau sengaja menolak hujan demi menolong si penjudi itu?”
“Maaf Pak mungkin salah faham”
“Salah faham bagaimana? justru kamulah yang salah faham. Seandainya kamu mengerti, pengajian tadi malam merupakan agenda umat.”
Ah, agenda umat. Apalagi itu. Aku semakin tak mengerti. Biarlah itu menjadi kosa-kata baru dalam ingatanku.
“Seharusnya kau menolong kami, bukan malah menolong penjudi itu. Itu namanya menolong jalannya kemaksiatan” kata Pak Birin dengan wajah berapi-api. Kontan hatiku makin gerah mendengar kata-katanya. Namun aku berusaha menahan agar tidak emosi. Tetapi sayang, mulutku terlanjur mengatakan sesuatu.
“Tidak, tidak mungkin aku menolak datangnya hujan hanya demi lancarnya pengajian tadi malam,” Pak Birin tertegun mendengar kata-kataku. Saat ia hendak menyela, kalimat-kalimatku berlanjut,” Seandainya tadi malam aku memanggil hujan berarti aku telah berbuat kerusakan pak. Ingat pula pak, benarkah pengajian yang sampean selenggarakan adalah murni pengajian. Benarkah pengajian yang gagal tadi malam murni dalam rangka menyampaikan ajaran-ajaran agama. Kalau memang itu murni pengajian mengapa harus ada pembagian uang dari  seorang calon kepala daerah yang tak jelas asal-usulnya. Kalau itu memang pengajian dalam rangka menyampaikan risalah Tuhan, mestinya tak harus pasang bendera-bendera partai seperti itu, bukan?.
Aku sendiri juga tak mengerti. Dan seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Sama sekali aku tak merasa kata-kata itu hasil pikiranku. Aneh!
Pak birin gusar mendengar ucapanku. Sepertinya ia juga terkejut. Baru sekali ini kang tole yang polos berani membantahnya. Lalu seketika wajahnya pucat sambil menghela nafas panjang sebagai ekspresi kegundahan. Namun  ia menyampaikan satu alasan lagi yang tersisa dibenaknya.
“ Iya tapi itu kan sudah menjadi kesepakatan anggota takmir masjid, Kang” ujar Pak Birin membela diri.”Lagi pula, kita tak enak kang, pak calon sudah banyak berjasa dimasjid ini.”
“Mereka sepakat bukan karena kehendak hati nuraninya sendiri, Pak. Tapi bukankah kesepakatan mereka karena sudah uang yang bicara. Nah, itulah masalahnya. Dan janganlah salahkan saya jika tadi malam hujan turun. Hujan turun bukan karena permintaan saya melainkan itu adalah gejala alam sendiri akibat tidak setuju dengan ulah manusia yang menyalah gunakan nama baik Tuhannya.”
Lagi-lagi ada yang aneh. Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja. Padahal aku merasa sama sekali tidak mengucapkannya. Seperti ada sesuatu yang merasuk dalam kesadaranku. Boleh jadi, semua itu  adalah bisikan kakek dalam mimpi kemarin yang hanya kudengar samar-samar.
Tapi biarlah, nyatanya toh pak Birin mampu memahaminya. Lihat dia berbalik arah lalu lenyap begitu saja. Tanpa kesan ramah yang tersisa diwajahnya. Namun setidaknya naluriku mengatakan hujan malam itu adalah cermin ketidaksetujuan Tuhan. Ini menurutku, entah menurut pak Birin, entah pula bagi pak calon kepala daerah dan anggota jamaah yang lain.
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar