PAWANG HUJAN
oleh: Hanifudien Zuhri
Hujan turun dengan lebatnya. Gemericik
suaranya seperti menghabisi seluruh kesunyian malam. Tak ada petir, tak ada angin,
satu-satunya suara yang berdaulat pada malam itu hanyalah rintik-rintik hujan.
Suara alam yang tulus dan suci dari muatan kepentingan.
Malam itu suasana begitu tenang,
nyaman, damai, tak ada gelak tawa, tak ada bising suara kendaraan. Sesekali
angin semilir lembut melintasi bulu mata. Menjadikan rasa kantuk semakin garang
menyergap kesadaranku. Sejenak kemudian kasur empuk didalam kamar itu
benar-benar lahap menelan tubuhku yang kerempeng ini dan berlanjut hingga azan
subuh berkumandang. Benar-benar lega rasanya. Sepertinya baru sekali ini aku
menikmati tidur malam yang nyaman.
Jam dinding berdentang tujuh kali.
Namun matahari tampaknya tak kuasa mengusir kabut tebal pagi ini. Boleh jadi,
cuaca pagi yang lembab membuat anak-anak bermalas-malasan pergi ke sekolah. Ah,
peduli apa. Itu urusan mereka yang punya anak. Dalam urusan seperti itu,
tentunya aku harus bersyukur menjadi orang yang hidup sendirian. Tak perlu
pusing-pusing memikirkan sekolah si anak. “Tidur lagi, ah!.”
Belum sampai terlelap, terdengar
suara orang mengetuk pintu. Suara ketukannya begitu kasar. Pasti tanpa
dibarengi perasaan. Ada firasat tak enak dihatiku. Kuintip dari lubang
dijendela. Terlihat seorang berkopyah putih. Oh, Pak Birin rupanya!.
Entah mengapa, aku merasa tidak
nyaman setiap ia datang. Kedatangan Pak Birin tidak lain, pasti ingin
mempersoalkan hujan tadi malam. Dan inilah suatu permasalahan yang akrab
melanda hidupku. Kalau tidak musibah pastilah anugerah. Bila para tetangga
membicarakan tentang pribadiku pastilah masalah hujan yang menjadi pokok
bahasan mereka.
“ Ini semua gara-gara kamu kang”
ujar pak Birin dengan nada kecewa,” Seandainya sampean mau mengerti pasti tidak
begini jadinya. Ah, payah.”
Pak Birin terus meluapkan
kekecewaannya. Benar dugaanku, akibat turunnya hujan tadi malam acara pengajian
akbar di halaman masjid gagal berantakan. Aku lagi yang menjadi sasaran orang.
Beberapa saat kemudian setelah Pak
Birin beranjak meninggalkan rumahku, lalu datang lagi Bu Siti seorang ketua
jamaah muslimat. Dia membawa kekecewaan yang sama seperti Pak Birin.
“ Kamu ini bagaimana sih, Kang Tole.
Padahal semua orang sudah mewanti-wanti agar jangan sampai turun hujan, apa amplopan
yang kami berikan kurang tebal, sehingga doa dan japa mantramu tak mempan lagi
untuk menolak hujan.” kata Bu Siti.
Seketika pintu rumah kututup dan
kunci setelah Bu Siti beranjak tanpa pamit. Jika sudah terjadi semacam ini aku
mulai sadar, dan seringkali aku mengeluh pada diri sendiri. Oh Tuhan mengapa
kau ciptakan aku sebagai makhluk pengendali hujan, dan wahai hujan, mengapa kau
begitu tunduk kepadaku padahal aku tak pernah sunguh-sungguh saat berdoa untuk
menolak maupun berharap kedatanganmu.
***
Semua orang melabeliku dengan
julukan Kang Tole “si pawang hujan”. Saat musim hajatan pengantin tiba,
kebetulan jika saat itu adalah musim penghujan, maka aku kebanjiran tamu yang
meminta agar jangan sampai turun hujan. Tapi jika musim kemarau dimana semua
daerah dilanda kekeringan maka tugasku adalah berdoa minta turun hujan. Dan
rata-rata semua tugasku berjalan lancar.
Meski begitu, pernah juga orang
kampung berdatangan menghujatku, masalahya adalah banjir yang suatu ketika pernah melanda kampungku. Mereka menuduh
akulah biang semua ini. Namun saat itu mereka sadar, saat aku berkilah,” Banjir
bukan urusanku, tugasku adalah hujan,dan bukan banjir”.
Aku pun pernah melarikan diri dari
kampung untuk bersembunyi dalam sementara waktu. Hal itu aku lakukan karena
muak melihat sikap semua orang kepadaku, mereka menghoramatiku secara
berlebihan, seolah aku adalah mandat dari tuhan untuk mengontrol hujan sebagai
ganti malaikat juru hujan.
Masalah demi masalah silih berganti
terkait pekerjaanku ini. Namun sepanjang sejarah masalah yang satu ini cukup
rumit.
Pagi itu, dua orang datang kepadaku secara
bersamaan. Mereka adalah Pak Birin dan satunya lagi adalah Sudin seorang tukang
becak yang terkenal gemar main judi. Saat hendak masuk pintu rumahku mereka
berdua terlihat saling pandang dengan sinis. wajar yang satu penjudi yang
satunya lagi ustadz. Dua manusia yang berbeda haluan.
Seperti sebuah perlombaan, dengan tangkas
dan lancar Sudin mengutarakan masalahnya padaku. Pak Birin pun kalah duluan. Tapi
ia tampak tenang-tenang saja seolah mampu membaca kebiasaanku: bila kedatangan
penjudi dan kiai pastilah kiai yang lebih diutamakan.
Permintaan sudin cukup aneh. Tapi
yang namanya Sudin tetaplah Sudin si penjudi. Dia meminta agar malam ini turun
hujan sebab baru saja ia menggelar taruhan dengan temannya.
“Baru saja kami tebak-tebakan dengan
kawanku, Kang. Ada dua pilihan: malam nanti hujan atau cerah. Tadinya saya sempat
bingung. Tapi saat teringat sampean maka saya dengan mantap berani bertaruh dua
ratus ribu memilih hujan. Maka dari itu tolonglah kang turunkan hujan sore ini”
kata Sudin.
Aku tersenyum mendengar ceritanya
dan kulihat Pak Birin gusar mendengar permintaan si Sudin itu, suatu pekerjaan
yang tabu untuk diungkapkan didepan orang lain.
Setelah Sudin bermpamitan, giliran Pak
Birin mengutarakan maksudnya. inilah akar persoalan itu terjadi; kalau tadi si sudin
meminta agar turun hujan tapi Pak Birin meminta sebaliknya. Karena nanti malam
akan di gelar pengajian akbar di masjid, maka ia meminta agar jangan sampai
turun hujan.
“ Demi sukses dan lancarnya acara
pengajian malam nanti, saya harap sampean mengerti kang; jangan sampai acara
ini berantakan gara-gara turun hujan. Persiapan acara ini memakan anggaran
jutaan rupiah yang diambil dari dana khas masjid dan rencananya nanti malam
akan dihadiri seorang calon bupati dan seluruh tim suksesnya. Saya berharap
sungguh-sungguh kepadamu kang penuhilah permintaan kami. Sebab ini menyangkut
dunia-akherat” Kata Pak Birin.
“ Hemm..” Aku tersenyum, dan hanya
tersenyum.
“ Jangan kawatir, sampean nanti juga
akan mendapat bagian” ujarnya. Entah apa maksudnya aku sama sekali tak
mengerti,” sekaligus kalau nanti ada kesempatan biarlah Pak calon bupati akan kukenalkan padamu. Jarang-jarang lo,
orang kecil seperti kita bisa kenal dengan pejabat” katanya.
Sesaat kemudian setelah Pak Birin mohon
diri, kucoba merenungkan apa yang baru saja dikatakannya. “Jangan kawatir
sampean nanti juga akan mendapat bagian”. Ya kalimat itu masih menjadi misteri
tersendiri yang selalu terngiang-ngiang di benakku. Wajar, otakku terlalu
sederhana untuk memahami orang pandai seperti dia.
Kepalaku pusing menentukan dua
pilihan ini: antara hujan dan tidak. Aku harus mengabulkan yang mana. Memohon
hujan berarti turut mengacaukan acara pengajian. Sedangkan menolak hujan sama
artinya dengan menghancurkan istri dan anak si Sudin. Sebab aku juga merasa
kasihan pada mereka. Setiap punya uang selalu dijarah bapaknya untuk berjudi.
Paling tidak, bila Sudin menang, sekian persen uang itu kembali pada mereka.
Disaat hati nurani yang terdalam tak
mampu menjawab, perlahan-lahan aku terlelap di atas kursi tamu dan tertidur
pulas.
Didalam tidurku aku bermimpi
kedatangan seorang kakek-kakek tua renta. Dari gerak-gerik dan cara bicaranya,
aku menjadi ingat pada kakekku yang meninggal puluhan tahun yang lalu. Dan
dialah orang yang mewariskan ilmu pengendali hujan padaku. dalam mimpi itu kulihat wajah dan semua guratan mukanya
tampak murka. Seperti hendak menumpahkan segala kutukannya padaku. Kemudian ia
membisikkan sesuatu padaku. Ada suatu nasehat dengan bernada ancaman yang
menakutkan. Darah serasa mendidih mendengar bisikannya. Tapi anehnya, bisikan
itu tak begitu terdengar, kecuali lirih samar-samar.
Sehari sebelumnya, aku juga bermimpi
yang mengerikan. Aku melihat diserambi masjid kampungku penuh bara api yang
menyala-nyala. Sementara itu diatas mimbar ada seorang yang berceramah dengan
penuh semangat. Tapi mimpi yang ini tak seberapa dibanding mimpi bertemu sang
kakek yang menakutkan.
Mendengar kata-kata sang kakek itu tubuhku
menjadi gemetar. Nafasku berdengus kencang, dan seketika aku terbangun. Namun
setelah bangun, sang kakek itu sudah lenyap.
Nafasku terus memburu. Baru kemudian
setelah kuambil air wudlu perlahan hatiku merasa tenang. Lalu kulihat jam
dinding menunjukkan pukul lima sore. Diluar langit tampak gelap. tapi kini aku
merasa mantap dengan pendirianku; seperti yang diisyaratkan dalam mimpi.
Tiga puluh menit kemudian hujan
turun dengan lebatnya. Usai sudah tugas yang membebaniku. Hujan ini terus berlangsung
hingga larut malam. Dan aku sangat berharap hujan ini adalah pilihan terbaik.
***
Semanjak turunya hujan itu, aku
merasakan sikap tak nyaman dari Pak Birin dan seluruh anggota jamaah masjid.
mereka menudingku dengan tuduhan macam-macam.
“ Sejak kapan kau berkompromi dengan
penjudi kang?” Ujar Pak Birin.
“ Oh, maaf, maksud bapak?.”
“ Gara-gara hujan tadi malam, acara
pengajian gagal dan calon kepala daerah tidak jadi datang. Lalu apakah kau
sengaja menolak hujan demi menolong si penjudi itu?”
“Maaf Pak mungkin salah faham”
“Salah faham bagaimana? justru
kamulah yang salah faham. Seandainya kamu mengerti, pengajian tadi malam
merupakan agenda umat.”
Ah, agenda umat. Apalagi itu. Aku
semakin tak mengerti. Biarlah itu menjadi kosa-kata baru dalam ingatanku.
“Seharusnya kau menolong kami, bukan
malah menolong penjudi itu. Itu namanya menolong jalannya kemaksiatan” kata Pak
Birin dengan wajah berapi-api. Kontan hatiku makin gerah mendengar
kata-katanya. Namun aku berusaha menahan agar tidak emosi. Tetapi sayang,
mulutku terlanjur mengatakan sesuatu.
“Tidak, tidak mungkin aku menolak
datangnya hujan hanya demi lancarnya pengajian tadi malam,” Pak Birin tertegun
mendengar kata-kataku. Saat ia hendak menyela, kalimat-kalimatku berlanjut,” Seandainya
tadi malam aku memanggil hujan berarti aku telah berbuat kerusakan pak. Ingat pula
pak, benarkah pengajian yang sampean selenggarakan adalah murni pengajian. Benarkah
pengajian yang gagal tadi malam murni dalam rangka menyampaikan ajaran-ajaran agama.
Kalau memang itu murni pengajian mengapa harus ada pembagian uang dari seorang calon kepala daerah yang tak jelas
asal-usulnya. Kalau itu memang pengajian dalam rangka menyampaikan risalah
Tuhan, mestinya tak harus pasang bendera-bendera partai seperti itu, bukan?.
Aku sendiri juga tak mengerti. Dan
seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Sama sekali aku tak
merasa kata-kata itu hasil pikiranku. Aneh!
Pak birin gusar mendengar ucapanku.
Sepertinya ia juga terkejut. Baru sekali ini kang tole yang polos berani
membantahnya. Lalu seketika wajahnya pucat sambil menghela nafas panjang
sebagai ekspresi kegundahan. Namun ia
menyampaikan satu alasan lagi yang tersisa dibenaknya.
“ Iya tapi itu kan sudah menjadi
kesepakatan anggota takmir masjid, Kang” ujar Pak Birin membela diri.”Lagi
pula, kita tak enak kang, pak calon sudah banyak berjasa dimasjid ini.”
“Mereka sepakat bukan karena
kehendak hati nuraninya sendiri, Pak. Tapi bukankah kesepakatan mereka karena
sudah uang yang bicara. Nah, itulah masalahnya. Dan janganlah salahkan saya
jika tadi malam hujan turun. Hujan turun bukan karena permintaan saya melainkan
itu adalah gejala alam sendiri akibat tidak setuju dengan ulah manusia yang
menyalah gunakan nama baik Tuhannya.”
Lagi-lagi ada yang aneh.
Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja. Padahal aku merasa sama sekali tidak
mengucapkannya. Seperti ada sesuatu yang merasuk dalam kesadaranku. Boleh jadi,
semua itu adalah bisikan kakek dalam
mimpi kemarin yang hanya kudengar samar-samar.
Tapi biarlah, nyatanya toh pak Birin
mampu memahaminya. Lihat dia berbalik arah lalu lenyap begitu saja. Tanpa kesan
ramah yang tersisa diwajahnya. Namun setidaknya naluriku mengatakan hujan malam
itu adalah cermin ketidaksetujuan Tuhan. Ini menurutku, entah menurut pak
Birin, entah pula bagi pak calon kepala daerah dan anggota jamaah yang lain.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar